Pada tahun 2007, Popeyes Louisiana Kitchen berdiri di ambang kehancuran. Waralaba restoran cepat saji ini kehilangan arah, kepercayaan, dan semangat. Namun, di tengah badai itu, muncullah seorang pemimpin yang tak biasa—Cheryl Bachelder. Ia tidak datang dengan tongkat komando, melainkan dengan telinga yang mendengar dan hati yang melayani.
Alih-alih memaksakan visi dari atas, Cheryl memilih untuk melayani mereka yang ada di garis depan: para pewaralaba dan karyawan. Ia percaya bahwa keberhasilan sejati lahir dari kepercayaan, rasa hormat, dan kolaborasi. Di bawah kepemimpinannya, Popeyes tidak hanya memperbaiki sistem operasional, tetapi juga membangun kembali jiwanya.
Cheryl menetapkan ekspektasi yang jelas, namun ia juga menyediakan dukungan yang tulus. Ia mendorong timnya untuk berani mengambil risiko, berinovasi, dan menemukan kekuatan dalam diri mereka sendiri. Ia tidak memimpin dengan ego, melainkan dengan empati. Dan hasilnya? Luar biasa.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, Popeyes bangkit. Margin keuntungan meningkat, kepuasan pelanggan melonjak, dan nilai saham perusahaan meroket. Tapi lebih dari itu, Cheryl telah membuktikan bahwa kepemimpinan bukan soal kekuasaan—melainkan soal pelayanan.
Dalam bukunya Dare to Serve , Cheryl mengungkapkan bahwa hasil finansial yang superior dicapai melalui fokus pada pelayanan dan kolaborasi.
Saat Cheryl mulai menjabat sebagai CEO pada tahun 2007, harga saham Popeyes berada di sekitar $11 per lembar. Ketika perusahaan dijual ke Restaurant Brands International pada tahun 2017, harga saham telah melonjak menjadi sekitar $61 per lembar.
Ini berarti terjadi peningkatan lebih dari 450% dalam nilai saham selama masa kepemimpinannya.
Kisah ini bukan hanya tentang angka, tapi tentang bagaimana kepemimpinan yang melayani bisa mengubah arah sebuah perusahaan dan mengangkat semangat timnya.
Explore juga kisah berikut :
Howard Schultz: Meracik Kepemimpinan Sehangat Kopi